Saya ingat sewaktu masih menjadi siswa SMA di Cirebon, sekitar 22 tahun yang lalu, di saat liburan saya pernah beberapa kali mendaki Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Setelah jam 6 sore saya biasanya memulai pendakian dari satu desa terpencil di lereng Gunung Ciremai. Selama perjalanan melewati medan yang cukup sulit buat orang awam (apalagi di musim hujan) dalam kesunyian, gelap gulita, kedinginan, saya harus waspada saat menembus hutan lebat yang masih alami.
Tak jarang saya harus mencari-cari jalan, naik pohon, melintasi pinggir jurang atau melewati jalan-jalan yang cukup sulit karena memang tidak ada jalan buatan manusia. Yang ada hanya jalan yang secara alami terbentuk dari aliran air hujan menuju bawah gunung. Dalam perjalanan, saya sering berpikir bahwa betapa enaknya kalau saat itu saya berada di rumah saja. Santai di sofa, menonton TV ditemani makanan yang hangat. Sangat kontras dengan keadaan saya saat itu.
Mengapa saya bersusah payah mendaki gunung? Lelah, sunyi, gelap, dingin, belum lagi kadang pikiran saya terusik dengan berbagai cerita kejadian magis di gunung ini (saya sendiri pernah mengalaminya). Belum lagi, berita di media massa tentang beberapa pendaki yang hilang, bahkan tewas di gunung yang sedang saya daki ini.
Sampai di puncak Gunung Ciremai biasanya sekitar jam 6 pagi jika terus berjalan sepanjang malam. Di puncak Gunung Ciremai, saya hanya sebentar saja menikmati pemandangan luar biasa yang memang “tidak bisa di lihat dari tempat lain” dan memetik bunga Edelweiss secukupnya sebagai oleh-oleh yang biasanya diminta oleh teman-teman sekolah. Perasaan puas timbul saat sampai di dataran tertinggi di puncak gunung. Bukan karena berhasil menaklukkan puncak Gunung Ciremai atau berhasil berdiri di tempat paling tinggi di Jawa Barat. Tetapi, karena saya berhasil menaklukkan penderitaan, ketakutan, kedinginan, kesunyian, keengganan, dan berbagai hambatan dalam diri saya supaya dapat naik ke puncak gunung ini.
Saat saya sudah kembali berada di rumah, selalu muncul keinginan untuk mendaki Gunung Ciremai lagi (bahkan sampai sekarang). Hal yang paling membuat saya ingin kembali lagi adalah karena saya menikmati proses perjuangan (dengan segala penderitaannya) dalam perjalanan menuju puncak Gunung Ciremai selama kurang lebih 10 jam mendaki, ditambah 9 jam turun gunung, lebih daripada menikmati keberhasilan berada di puncak gunung yang hanya setengah jam.
Saya berkesimpulan bahwa menikmati proses perjuangan jauh lebih nikmat daripada menikmati hasil. Mari kita nikmati “proses perjuangan menuju keberhasilan”, lebih daripada menikmati “keberhasilan” itu sendiri. Apa pun kondisi Anda saat ini, hidup anda akan terasa lebih nikmat kalau Anda menikmati proses perjuangan Anda.
(Victor Asih)
Penulis bisa dihubungi melalui email victorasih@yahoo.co.id